Sejarah

Sejarah    Misteri asal usul nenek moyang orang Batak yang hidup di Sumatera Utara, dan sebagian wilayah Aceh Singkil, Gayo, serta Alas, kini sudah mulai diketahui. Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia. Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen”

Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.


“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.

Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.

Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.

Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). 

Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh. Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.

“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.

Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo. 
Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.

“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.

Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.

Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja Batak.

Hal lain yang kita ketahui tentang asal muasal dari Batak seperti kampung “Sianjur Mula-Mula” dan si Raja Batak, hanya diketahui dari mitos dan silsilah. Mitos mengatakan, Si Raja Batak diciptakan langsung oleh Tuhan melalui “Si Boru Deak Parujar” di Sianjur Mula-mula. Anaknya dua, Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, itulah moyang dari 2 kelompok besar marga Batak yaitu, Lontung dan Sumba. Dari kedua orang inilah baru dikenal silsilah sampai hari ini.

Melalui (perhitugan) silsilah itu ditaksir, kira-kira 20 generasi lalu (20 x 25 tahun = 500 tahun) dari kedua Kakek itu sampai generasi sekarang. Jadi, sekiranya benar silanyak pendapat para sarjana mengenai asal-usul orang Batak, yang berbeda dari kisah mitos dan silsilah tersebut.

Pendapat terkenal dari Robert Von Heine Geldern (“Prehistoric Research in the Netherlands Indies”, dikutip dari Science and Scientists in the Netherlands Indies, 1945, hal. 147 ff). Heine-Geldern menyatakan, melalui beberapa gelombang migrasi, Orang Batak berasal dari Yunan, Cina Selatan dan Vietnam Utara, + 800 SM. Selama itu sampai tahun 1500, Orang Batak mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha, kalau tidak langsung dari India, dari Jawa melalui Minangkabau.

Ada juga orang yang menyimpulkan bahwa suku Batak, merupakan bagian suku Israel yang hilang. Beberapa hal, yang sampai saat ini masih saya kategorikan sebagai othak-athik gathuk, saya kemukakan di sini:

Kebiasaan Mengingat Tali Garis Keturunan

Bahwa suku Batak, entah karena apa, secara umum, lebih memperhatikan tali garis keturunan daripada suku-suku lain di Indonesia.

Kebiasaan Mengumpulkan Tulang Belulang Leluhur.

Bahwa suku Batak, sangat antusias menghimpun tulang-belulang leluhurnya. Saking antusiasnya, sering dijadikan pembanding dengan suku Padang/Minang, dimana suku Padang/Minang tidak pulang orang, tetapi pulang uang, sebab ada gerakan menghimpun dana dan dikirimkan ke kampung halaman (Sumatera Barat), sementara suku Batak, tidak pulang uang, melainkan pulang orang (meski hanya jenazah), dan sering sekali, pulang hanya tulang belulang yang dihimpun dari pemakaman.
Hal yang begitu itu, konon sama dengan Yahudi yang membawa tulang belulang Israel dari Mesir ke Kanaan.

Informasi terbaru yang dapat membantu kita sudah lama ada, yaitu tahun 1944, ketika terbit catatan perjalanan dari Tomé Pires yang disunting Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires : An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515. Tomé Pires adalah seorang apoteker bangsa Portugis, Kepala Gudang Rempah-rempah Portugis di Malaka. Kemudian menjadi Duta Besar di Cina. Ratusan tahun catatan itu terselip di perpustakaan Prancis, kemudian ditemukan Armando Cortesao tahun 1937. Setelah diterbitkan tahun 1944, barulah sedikit terang gambaran tentang Nusantara, termasuk Sumatera di awal abad XVI.

Catatan Tome Pires berawal dari Borneo (Kalimantan), Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Seram, Ambon, Maluku dan pulau-pulau Karimun. Dikatakan, Pulau Sumatera (Camotora) luas dan makmur. Di awali dari berita Pulau Weh yang dinamainya pulau-pulau Gomez (Gamispola). Dari pulau di ujung Aceh itu, terus dia menelusuri Selat Malaka, mengelilingi Sumatera menuju Pastima (Barat) ke Pansur (Pamchur) dekat Barus, dan kembali lagi ke Pulau Weh (Gamispola). Selain Gamispola dan pulau-pulau disekitarnya, Tomé Pires mencatat ada 19 Kerajaan (Reino) dan 11 Negeri atau terra di Pulau Sumatera ketika itu.silah tersebut, kira-kira tahun 1500-an lah oraSeorang Portugis lainnya, Pinto, mengabarkan bahwa Raja Batak itu namanya Raja Timur Raya.

Raja Tamiang atau Raja Timur Raya ini sudah beragama Islam, tetapi kadang kala masih mau merompak di laut (bajak laut). Salah satu kapal yang pernah dirompaknya adalah Kapal Flor de la Mar (Bunga Laut). Inilah salah satu dari 4 kapal armada yang dipimpin Gubernur Jenderal Portugis, Alfonso de Albuquerque dari Malaka ke Goa. Tepat pada tanggal 1 Desember 1511, kapal tersebut kandas ketika mendekati Pasai. Banyak meninggal, terluka, raib semua muatan kapal itu, dan banyak harta benda dirampas, tetapi kalau Albuquerque melarikan diri.

Tetapi sekalipun demikian (meragukan), orang  Batak sangat kuat berpegang pada keterangan seperti itu, dan akibatnya juga tidak ada lagi hasrat untuk mencari informasi baru tentang asal mula orang Batak itu.

Maka kita generasi penerus harus mampu dan menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat peninggalan nenek moyang kita.

*dihimpun dari berbagai sumber